"Cobalah dengan kombinasi dua warna lebih dulu, rasakan kedalaman pada kontrasnya." Sang Seniman mengarahkan si murid baru untuk menggambar bentuk-bentuk sederhana.
Paris menggoreskan sebuah kuas kecil ke arah kanvas. Cat hitam membekas seiring gerak tangan. Keheningan menyelimuti. Hanya suara gesekan dedaunan serta cuitan burung kecil yang kini terdengar jelas.
Perlahan bentuk itu mulai terlihat. Sang Guru mengamati dengan cermat. Ada yang aneh..!!
Gerakan tangan Paris terhenti. Mungkin ia kehabisan ide.
Rayi, Sang Seniman mengernyitkan dahi. Paris menoleh, mencoba menebak respon Rayi. Keduanya bertatapan dengan mimik penuh curiga dan penuh tanda tanya.
"What is this?"
Tak ada jawaban. Paris merasa heran, Rayi tak bisa menebak gambar yang dibuatnya. Bentuk goresan di dalam kanvas terlihat seperti dua gundukan, sebuah garis setengah lingkaran, agak kecil, berada di tengah menghubungkan kedua gundukan. Di bawahnya sepasang garis vertikal nampak berdiri merapat ke arah atas. Sangat mudah ditebak.
Masih belum ada jawaban. Paris kembali menengok lukisan yang dibuatnya. Tak mungkin Rayi tak mengenal bentuk itu. Sang Kakeklah yang pertama kali mengajarkan lukisan ini saat Paris masih kecil.
"This is my Grandpa's idea. He taught me. Dia asli Indonesia..!!"
"Ha ha ha..." Rayi tergelak.
Tawanya meledak memecahkan keheningan. Tak lama kemudian ia terdiam, namun tiba-tiba kembali tertawa terbahak-bahak. Paris mulai khawatir dengan kesehatan mental guru barunya itu.
"Pantas...!!" Rayi menyudahi tawa walau perasaan geli masih menguasai alam sadarnya.
"Sory, ha ha ha... sory, Paris. Saya tak bermaksud mengejek gambarnya. Saya hanya heran, kok bisa seorang bule dari Itali menggambar sesuatu yang sangat asli Indonesia? Ternyata pengaruh Sang Kakek masih membekas kuat dalam dirimu. ha ha ha.."
"he he he..." Paris cengengesan. Ia masih bingung, apakah harus ikut tertawa atau tidak.
Tertarik pada sosok itu, Rayi meminta Paris menceritakan lebih banyak kisah tentang Sang Kakek. Paris tak keberatan. Ia malah terlihat senang. Sang Kakek memang salah satu idola bagi Paris. Banyak bekal pengalaman hidup ia pelajari dari beliau.
Pelajaran melukis beralih menjadi cerita nostalgia. Paris menceritakan seluruh kenangan yang masih membekas tentang Sang Kakek. Rayi menyimak penuh semangat. Tak berapa lama kembali terdengar suara tawa Rayi, namun kali ini diiringi tawa Paris yang tak kalah heboh. Keduanya kini terlibat perbincangan panjang tentang budaya masing-masing.
Tiba-tiba, muncullah sosok bayangan seseorang menutupi kanvas lukisan yang baru saja dibuat Paris. Keduanya terdiam, menoleh ke arah kanvas. Mereka teringat agenda utama saat itu adalah pelajaran melukis, bukan sejarah!
Pandangan beralih ke arah pintu. Wajah seseorang sedang berdiri tepat di kolong pintu yang terbuka itu tak asing bagi mereka.
”Hai.., ceria banget hari ini..??!"
"Hai, Rini.. He he he.. iya. Lagi asyik lukis Rayi ajak guyon.. Yoga latihan sudah?" Paris membalas sapaan Rini yang kini bergegas masuk. Seperti biasa, tata bahasanya kebolak-balik.
"Sudaaah.. Mana lukisannya??" Rini penasaran ingin segera melihat karya perdana Sang Sahabat.
Paris dan Rayi bertatapan menahan tawa, lalu menoleh ke arah lukisan mentah di sisi Rini. Paris menunjuk ke arah kanvas tanpa suara sedikitpun. Ia siap menerima ledekan sahabatnya itu.
Rini mengarahkan pandangan ke arah kanvas di sisi tempat ia duduk. Suasana menjadi hening, hening sehening-heningnya. Suara jangkrik muncul entah dari mana. Rayi dan Paris nampak tegang. Entah menahan nafas atau malah sedang menahan tawa.
No comments:
Post a Comment