Made mempercepat laju mobil. Setelah beberapa menit nampaklah dengan jelas sosok Sang Kakek. Sebuah tongkat di tangan kiri dan juga sebuah kotak kayu di tangan kanan terlihat jelas saat ini, namun wajah Sang Kakek belum bisa dikenali. Ia menoleh ke arah berlawanan.
Mobil mendekat saat Sang Kakek membalikkan wajah ke arah mereka. Made menghentikan mobil dengan kondisi mesin tetap berbunyi. Bon-Bon terkejut saat menyadari bahwa kakek inilah yang pernah dilihatnya dalam mimpi.
"Bukankah kakek ini yang pernah mendatangiku dalam mimpi?" Bon-Bon terkesima beberapa saat, sebelum Made memutuskan keluar dari mobil untuk menyapa Sang Kakek.
Sang Kakek mengenakan jubah putih, sekilas tak mirip orang Bali. Penutup kepalanya pun berbeda dari biasa, bukan Udeng. Lebih mirip sorban yang biasa digunakan para kiyai dalam Islam. Wajah Sang Kakek putih bersih dengan postur sedikit lebih tinggi dari postur kebanyakan orang Bali. Namun begitu tutur bahasanya sangatlah khas beraksen Bali.
"Ayo, Bli.. mampir belanja sebentar. Ada sisa sedikit lagi buat oleh-oleh. Buatan kakek sendiri ini Bli..!" Sang Kakek menyapa Made yang baru saja keluar dari mobil.
Bon-Bon dan Helena tak ketinggalan, rasa penasaran mereka mendorong untuk segera keluar menjumpai Sang Kakek misterius ini. Bon-Bon tertarik pada barang dagangan di kotak kayu. Nampak beberapa untai kalung beserta gelang tradisional Bali teronggok di dalam kotak.
"Mustika??" Ujar Bon-Bon dalam hati, terbelalak melihat mata kalung yang mirip batu delima itu. Bedanya, batu ini berwarna putih kebiruan.
"Ini bagus kek. Harganya berapa?" Made lebih dulu meraih kalung tersebut dan berusaha mencari tahu nilainya. Sang kakek diam sejenak sambil melirik kalung di leher Helena.
"Harganya senilai kalung itu!" Helena terperanjat saat Sang Kakek menunjuk ke arahnya.
"Ini...?" Helena memegang kalungnya, "Ini pemberian ibu saya, kek. Saya tak tahu harganya berapa." Bon-Bon dan Made ikut mengamati kalung di leher Helena. Kalung yang aneh. Keduanya baru sadar jika bentuk dan jenis batu di kalung itu memang cukup unik. Sedikit oval namun tak beraturan. Warna merah kehitaman menyembul dari pori batu, Permukaannya sedikit kasar.
"Ibu saya mendapatkannya dari seorang kepala adat suku Aborigin." Helena menjelaskan asal-usul kalung. Sang Ibu, seorang peneliti biologi dari Itali, bertemu sekumpulan suku primitif di pedalaman Australi. Jasanya menolong persalinan istri Sang Kepala Suku membuat ia menerima penghargaan berupa kalung persahabatan itu.
Ketiga sahabat nampak kebingungan, bagaimana cara menaksir harga kalung itu? Sang kakek tak melepas pandangannya sedikitpun dari leher Helena. Made dan Helena nampak cemas, apakah Sang Kakek bermaksud menukarnya? Tentu tak mudah melepas kalung pemberian seorang ibu.
"Kalau gelang ini harganya berapa, kek?" Bon-Bon mengalihkan perhatian Sang Kakek.
"Dua belas ribu, nak!"
Bon-Bon kebingungan, kok gelang ini bisa dirupiahkan sedangkan kalungnya tidak? Made dan Helena berpikiran sama. Ketiganya berpandangan.
"Begini, kek. Sebenarnya kami ingin membeli kalung ini, tapi kakek belum menyebutkan nilainya. Kawan kamipun tak mungkin menukar dengan kalung miliknya." Bon-Bon coba menebak rencana Sang Kakek. "Kami beli gelangnya saja, ya..?"
"Baiklah..!" Sang kakek meraih beberapa gelang sesuai yang diinginkan Bon-Bon. Setelah itu Bon-Bon menebus dengan sejumlah uang. Matanya melirik ke arah kalung, mungkinkah itu mustika yang selama ini ia cari-cari?
No comments:
Post a Comment