Mereka berlomba menjadi yang tercepat, mencari di kebisingan lalu berebut semua yang terlihat. Padahal kenikmatan justru berdiam, sembunyi di balik sepi dan menampakkan diri saat mata terpejam.
Teknologi transportasi moderen semakin canggih dan semakin cepat. Kereta api super cepat di Jepang sudah sanggup mencapai kecepatan 600 km/jam. Jalan tol dibuat agar pengendara dapat melaju kencang tanpa gangguan. Becak terkinipun telah bermesin. Makanan cepat saji ada di mana-mana. Segalanya berjalan semakin cepat. Sebuah pertanyaan muncul dalam benak, apakah manusia dapat menikmati kehidupan serba cepat tersebut?
Kehidupan serba instan memang memudahkan aktifitas keseharian kita. Mesin ATM serta penggunaan kartu sebagai alat bayar hingga online banking semakin mempercepat proses transaksi dan roda perekonomian. Kita memasuki jaman yang berlari.
Namun sayang, tingkat stress dan beban pikiran justru semakin meningkat di tengah segala hal serba cepat tersebut. Sikap terburu-buru dan serba cepat nyatanya tak membawa kenikmatan, yang terjadi malah sebaliknya. Orang-orang kota kini mencari kenikmatan ke kota kecil dan desa-desa di pegunungan atau di pesisir pantai. Di sanalah mereka menemukan kenikmatan hidup, dan untuk semua itu mereka rela mengorbankan waktu serta biaya tak sedikit.
Mengulang paragraf awal, orang-orang berlomba menjadi yang tercepat, mencari di kebisingan lalu berebut segala materi yang terlihat. Padahal kenikmatan justru berdiam, sembunyi di balik sepi dan menampakkan diri ketika mata manusia terpejam dalam limpahan kenikmatan. Diam, sunyi, terpejam. Di sanalah Rumah Kenikmatan.
No comments:
Post a Comment