Kelonggaran nilai merupakan awal kekhilafan. Kejahatan kecil yang terus didiamkan perlahan akan diterima sebagai kebaikan kecil. Kebaikan kecil akan terus tumbuh dan membesar, kemudian suatu saat kita akan menyadari, kebaikan besar saat ini sejatinya ternyata adalah kejahatan besar yang masih tersamar. Membiarkan seorang pengendara melewati garis batas zebra cross di persimpangan lampu merah, tanpa teguran maupun peringatan, akan tumbuh menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap benar. Pelanggaran dan kesalahan perlahan semakin banyak dalam berbagai bentuk disebabkan sikap permisif terhadap pelanggaran-pelanggaran kecil. Suatu saat, pelanggaran besar tak lagi mampu mengusik rasa kepedulian kita sebab kepekaan terhadap pelanggaran telah pupus dan terkikis habis.
Agama dan lembaga adat dapat menjadi titik awal untuk kembali mempertajam kepekaan masyarakat terhadap pelanggaran-pelanggaran kecil. Seperti halnya lantai di setiap rumah, kotoran serta debu harus terus dibersihkan agar tak menumpuk menjadi noda mencolok mata. Perilaku indisipliner, kebiasaan merokok dan buang sampah di sembarang tempat, menerobos lampu merah, mengacau antrian, berkendara di atas trotoar dan lain-lain banyak/sering terjadi di sekitar kita namun tak mendapat respon apapun dari masyarakat. Ketidakpedulian seperti ini adalah indikasi lemahnya tanggungjawab masyarakat umum serta tokoh adat/agama pada lingkungan dan orang-orang sekitar.
Pembiaran demi pembiaran pada akhirnya membuat satu kebiasaan buruk bertransformasi menjadi sesuatu yang dianggap biasa dan tak buruk lagi. Dalam hal ideologi negara, sikap permisif masyarakat terhadap nilai dan norma asing perlahan serta tanpa terasa pada akhirnya akan mencaplok jati diri sejati kebangsaan kita. Lunturnya budaya nasional apalagi jika diperparah dengan amnesia sejarah akan membuat kita menjadi orang asing di negeri sendiri. Bukan tak mungkin hal ini merupakan pertanda bahwa kita sesungguhnya hanyalah seorang kuli di negeri sendiri, penonton di panggung sendiri.
No comments:
Post a Comment