Untuk menjajah sebuah bangsa tak perlu harus selalu dilakukan dengan jalan perang frontal. Cukup dengan menanamkan sebuah bentuk ketakutan tertentu secara masif serta berkadar traumatik kepada rakyatnya. Bisa dipastikan bangsa tersebut akan selalu menuruti apapun kemauan pihak-pihak yang berhasil menanamkan rasa takut tadi. Ketakutan berlebihan terencana pada agenda komunis menjadi alasan logis bagi tindakan bar-bar pembantaian sesama anak bangsa. Trauma akhirnya merebak masif, bukan saja pada keluarga korban pembantaian, tapi juga pada para pelaku. Praktis, kemerdekaan Indonesia telah lenyap bersamaan dengan menyatunya trauma dan rasa takut berkepanjangan dalam benak rakyat Indonesia. Kemerdekaan akhirnya hanya tertinggal di atas sehelai kertas, tersusun rapi dalam naskah proklamasi. Kemerdekaan menyejarah, bukan lagi menginspirasi.
Cita-cita kemerdekaan tersapu ombak pembangunan. Pembangunan fisik dan materi, tanpa jiwa dan semangat merdeka. Persis seekor gajah sirkus yang sehat dan megah namun tak punya kuasa untuk menentukan jalan hidup sendiri. Takluk pada ancaman serta mabuk dalam buaian kemudahan hidup semu. Gajah sirkus tetaplah seekor gajah sirkus. Ia bukanlah gajah merdeka.
Jika cita-cita kemerdekaan masih layak untuk diperjuangkan, maka belajarlah memilih rasa takut dengan tepat lalu mengelolanya menjadi sebuah kekuatan. Kekuatan generasi pendobrak dan pembaharu, sekuat generasi 45 yang telah berhasil mewariskan kemerdekaan bagi generasi penerus. Takutlah pada hal-hal yang patut dan layak ditakuti, serta sesuatu yang sanggup mengangkat kita menjadi makhluk mulia, saat-saat seseorang merasa takut pada Sang Pencipta.
No comments:
Post a Comment