Karakter manusia sebagian besar dibentuk oleh respon terhadap rasa takut. Para pemberani bukanlah seseorang yang tak punya rasa takut, melainkan memiliki kemampuan mengatasi rasa takut yang lebih besar. Itulah sebabnya teror menjadi sebuah alernatif untuk menguji sikap dan karakter seseorang terhadap suatu masalah.
Tingkat keberanian seseorang ditentukan oleh sebesar apa teror atau rasa takut pernah ia lalui dan rasakan. Para jawara tak memiliki arti apa-apa jika hanya mampu menaklukkan petarung kelas teri. Ia harus telah teruji menaklukkan musuh-musuh kelas kakap. Demikian pula pelaut ulung tak akan muncul di antara nelayan-nelayan perairan dangkal. Mereka tentu telah pernah bertarung dengan ganasnya ombak samudera dan lautan luas.
Para kriminal berasal dari sebuah kekeliruan memilih ketakutan mereka sendiri. Bandit dan preman memilih jalan hidupnya karena rasa takut pada kemiskinan, kelaparan dan tekanan lingkungan terdekat mereka. Demikian pula PSK, maling, jambret dan penjahat kecil, akan selalu memiliki ketakutan serta tantangan yang menurut mereka sanggup untuk diatasi dibanding bentuk ketakutan lain. Penjaja seks lebih takut pada rasa lapar dan himpitan hidup daripada ketakutan pada razia petugas dan bayangan tentang api neraka. Begitu pula jambret, maling dan preman.
Nilai moral dan agama mengajarkan pada kita tentang bagaimana memilih dan mengelola rasa takut yang tepat. Ketakutan pada siksa neraka dan harapan pada nikmat surga di periode kehidupan berikutnya merupakan argumen logis bagi kaum beriman untuk dapat menjauhi kemaksiatan. Ketakutan akan dosa membuat perilaku insan religius selalu menjurus kepada hal-hal tentang kebaikan.
No comments:
Post a Comment