Sejarah sebuah bangsa umumnya tercatat dengan rapih dalam lemari arsip negara. Menjadi anomali bagi Supersemar, sebuah surat yang bukan saja bernilai sejarah tinggi namun juga sangat besar perannya dalam skema peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto, naskah otentiknya ternyata tak ada dalam lemari arsip negeri ini. Sebuah pembelajaran buruk bagi generasi penerus.
Supersemar bisa jadi hanyalah sekedar mantra bagi sebuah skenario perebutan kekuasaan. Mantra sakti yang mampu menopang kekuasaan hingga 32 tahun. Ia tak perlu mewujud nyata dalam realita. Lihat saja paduan dua kata itu; Super dan Semar. Supersemar adalah paduan kata yang sangat berkarakter. Kombinasi antara kedigjayaan dan kebijaksanaan. Adapun tentang ia sebagai singkatan dari SUrat PERintah SEbelas MARet, tak lebih dari sekedar rangkaian cocokologi utak-atik kata belaka.
Sejarah membuktikan bahwa ada tidaknya naskah asli surat perintah tersebut tak ada pengaruh sama sekali terhadap proses peralihan kekuasaan beberapa tahun setelahnya. Bahkan, pembantaian ratusan ribu rakyat negeri ini menjadi sah dan legal berkat aura kesaktian Supersemar yang bertopeng Pancasila. Kesaktian Pancasila menjadi jargon untuk melegalkan tindakan yang justru bertententangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri.
Kata "Super" sesungguhnya adalah serapan dari bahasa asing yang berarti "luar biasa", sehingga kata supersemar bisa dimaknai sebagai Semar yang luar biasa. Luar biasa dalam hal apa? Ya, apa saja. Setiap orang berhak memberi tafsir sendiri-sendiri. Hanya saja sangat disayangkan jika keluarbiasaan itu akhirnya ditafsirkan sebagai "luarbinasa". Pernahkah dalam sejarah bangsa ini kita membantai musuh dengan biadab? Lalu telah cukupkah alasan untuk melakukannya pada saudara kita sendiri?
Sejarah memiliki jalan ceritanya sendiri. Tak seorangpun mampu mengubahnya. Namun sejarah pulalah nanti yang akan membersihkan segala debu dan kotoran itu. Kebenaran adalah kebenaran, ia abadi dan tak pernah lekang oleh waktu. Kita wajib memastikan bahwa kebenaran adalah milik Sang Pencipta, bukan monopoli penguasa. Mungkin kita masih perlu belajar untuk membedakan antara kebenaran dan legalitas, juga membedakan antara Supersemar dan Supersamar.
No comments:
Post a Comment