Mentari beranjak tinggi, para pekerja perkebunan teh terlihat santai. Mereka masih menikmati hasil panen pagi ini. Segalanya lancar seperti biasa. Alam pegunungan daerah Malino memang cukup bersahabat. Tak ada badai, topan, kemarau panjang, serangan hama, maupun gangguan-gangguan berarti dari makhluk alam. Berbagai jenis tumbuhan hidup subur serta berbuah lebat. Markisa adalah salah satu buah andalan di kota ini.
Rumah Bon-Bon berada di lereng sebuah bukit dalam wilayah perkebunan teh. Keluarga ini menghuni rumah berarsitektur kolonial yang dibangun khusus atas permintaan sang pemilik, Ayah Bon-Bon. Rumah tersebut adalah hadiah pernikahan Mamam. Sayang, hanya sempat dihuni bersama selama lima tahun, sebelum Sang Ayah kehilangan kontak dalam petualangannya ke tanah Papua. Usia Bon-Bon saat itu belum genap tiga tahun.
"Bon-Bon..!!" Sebuah suara terdengar dari kejauhan. Bon-Bon menoleh dari arah beranda depan.
"Hai, Koplo... Ayo mampir..!!"
Koplo membelokkan sepeda motor bututnya ke rumah Bon-Bon. Rangkaian besi rongsokan itu nampak tertatih saat berusaha melewati tanjakan. Teriakan knalpotnya sih oke, mirip vokalis rock metal.
Kabut tipis sedikit mengganggu pandangan ke arah Koplo. Cukup lama Bon-Bon menunggu kedatangan si motor antik. Padahal, bobot Koplo tak masuk hitungan jika dianggap memberati kerja motor legend ini. Akhirnya, Koplo nyampe juga dengan selamat.
"Gimana, Bon. Ke Balinya jadi? Aku diajak, nggak..??" Koplo tak sabar mendengar kabar rencana mereka ke Pulau Bali. Karena ketergesaan ini hampir saja si motor antik terpelanting oleh keteledoran Koplo memilih posisi parkir.
Bon-Bon menunggu situasi hingga lebih terkendali. Kabar pembatalan keikutsertaan Koplo tentu akan membuatnya kecewa. Tapi keputusan harus diambil, berangkat seorang diri akan mengurangi beban biaya dan emosi. Maklum, Koplo termasuk makhluk ceroboh yang sering menciptakan kejutan. Kejutan berupa masalah tentunya.
"Ehemm.., Gini, Plo.." Bon-Bon tersedak, berusaha tenang. "Saya berangkat sendiri saja..!!"
"APAA...??!!" Bon-Bon membayangkan reaksi Koplo.
Tapi tidak, Koplo hanya terdiam, pasrah, tanpa mimik kecewa sama sekali. Hanya saja, diam si Koplo cukup lama. Bon-Bon melambai-lambaikan tangannya ke wajah Koplo, takut sahabat karibnya itu kerasukan jin kalah judi.
"Koplo, kamu baik-baik saja, kan..??", tanya Bon-bon tanpa menatap wajah Koplo. Ia tak tega melihat mimik kesedihan itu.
"Iya, ngga apa-apa kok, Bon.."
"Ya, sudah!" Bon-bon merasa lega, namun sekilas suara Koplo tadi terdengar aneh.
"Hahh...?!!" Bon-Bon terkejut bukan kepalang sambil menoleh ke belakang. Ternyata yang barusan itu suara si Plentot. Kedatangannya seperti hantu.
"Ha ha ha.... Sudah, Plo... ngga usah menghayal ngintip bule berjemur di pantai lagi deh..!!" Plentot tak peduli skenario ketegangan dua sahabatnya. Ia malah cekikikan sendiri sambil bergegas menghampiri Koplo yang serius menghayati kegalauan hatinya.
Suasana seketika mencair oleh keisengan Plentot. Tiga sahabat karib itu terlihat gembira meskipun sebuah rencana tak berjalan sebagaimana mestinya. Seperti biasa, kehadiran dua sahabat Bon-Bon akan segera disusul oleh kedatangan tiga gelas kopi beserta sepiring pisang goreng hangat dari arah dapur si Mamam.
"Ayoh... disantap, jangan ditertawain aja..!!" Mamam menyilakan ketiga makhluk girang di depannya. Mamam menjewer Plentot si biang kerok sambil berlalu ke dalam rumah.
"Rasain, lu...!! Ha ha ha..." Bon-Bon dan Koplo tertawa lebar.
No comments:
Post a Comment