Sudah pukul sepuluh pagi, hawa sejuk pegunungan masih terasa. Ibu si Bon-Bon baru saja selesai dengan urusan dapur. Setumpuk pisang goreng ia sajikan buat anak semata wayang. Sambil bersenandung kecil, Sang Ibu menghampiri Bon-Bon di beranda depan.
"Kamu yakin akan pergi sendirian saja, Bon? Kan bisa ngajak si Koplo atau si Plentot buat nemenin..?"
"Nggak Mamam, Bon-Bon pengen sendiri aja. Belajar mandiri. Lagian, Bon-Bon sekarang kan sudah gede. Nih lihat, nyampe kan?" Bon-Bon menjangkau kuping kanannya dengan tangan kiri melintasi kepala.
"Iya... iyaa..., percaya.."
img. Hening |
Kalimat Mamam terhenti. Seketika suasana mejadi hening. Bayangan Sang Suami berkelebat dalam pikiran Mamam. Ayah Bon-Bon menghilang begitu saja saat usia Bon-Bon belum genap tiga tahun. Petualangannya ke tanah Papua hanya meninggalkan misteri bagi Mamam. Tak ada kabar sedikitpun menghampiri hingga kini. Sang Ibu khawatir. Ia tak ingin mengalami kemisteriusan serupa, meskipun teknologi komunikasi saat ini telah jauh lebih memadai.
Bon-Bon menyadari keheningan aneh itu, "Mamam ngga usah khawatir deh... Kan ada smartphone yang selalu bisa menjadi pemangkas jarak istimewa!"
"Iya, Bon. Mamam hanya teringat ayahmu saja. Mamam percaya kok sama kamu." Mamam mengelus kepala Bon-Bon yang juga sedang mengelus Cheryl. Cheryl sendiri bingung harus mengelus siapa. Ya, iyalah.
"Mam...!!"
"Iya, Bon.. Ada apa?"
"Sebenarnya ada yang aneh dengan rencana Bon-Bon ke Bali kali ini."
"Memangnya ada apa dengan Bali? Masih teringat peristiwa bom itu yah?"
Bon-Bon tak bergegas menjawab. Ia masih harus menyusun kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaannya.
"Bukan itu, Mam. Bon-Bon merasa seakan mendapat ajakan tersembunyi, seperti sebuah bisikan halus untuk mengunjungi Bali secepatnya. Apakah Mamam juga pernah mengalaminya?"
Mamam terdiam, ia berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Kayaknya sih ngga ya, Bon... perasaan Mamam ngga sepeka itu." Keduanya bertatapan.
"Kamu memang mirip ayahmu. Ia sering bertindak sesuai naluri saja. Terkadang bagi orang lain keputusan ayahmu terasa aneh dan tak berdasar. Tapi, seiring waktu, kelak semua orang baru menyadari bahwa tindakannya sangat bermanfaat bagi banyak orang. Bukankah kebenaran memang selalu bersemayam dalam ruang naluri?"
Bon-Bon mengernyit. Kata-kata Mamam masih terlalu dalam baginya. Ia hanya mampu mengira-ngira maksud perkataan Sang Ibu.
Percakapan berlanjut dengan kisah-kisah masa muda Sang Ayah dari mulut Mamam. Sesekali Bon-Bon tertawa mendengar kisah tentang ayahnya. Di lain waktu ia nampak tepekur, berusaha mengambil hikmah dari kisah yang berbeda. Kisah tentang ayah rupanya penuh warna dan kaya makna. Kedua ibu-anak ini larut dalam kenangan bersama ayah dan suami tercinta. Cheryl menggeliat dari tidurnya, turut merasakan secercah kebahagian tuannya pagi itu.
No comments:
Post a Comment