>Maaf Pak Pendeta, kami mengalami sedikit masalah. Sepuluh menit lagi kami sampai< Made mengungkap alasan keterlambatan mereka dan segera berputar arah, melaju cepat ke arah Pura Uluwatu.
Sinar purnama tertutup awan tebal, namun perlahan menyembul menyinari jalan di depan mereka. Lalu lintas yang sepi memberi kesempatan pada Made untuk memacu kendaraan secepat mungkin. Ia tak ingin membuat Pak Pendeta menunggu terlalu lama. Helena masih terlihat senyam-senyum sendiri, entah apa yang ada di pikirannya. Sementara Bon-Bon nampak sibuk dengan gawai, Ia baru saja menerima pesan WA dari Mercy. Wajahnya sumringah.
Mobil melaju kencang menembus malam menuju sebuah tebing di Barat Daya Bali. Sebuah wilayah sakral yang diliputi suasana magis cukup tinggi. Pura Uluwatu berdiri anggun di puncak sebuah tebing, mengarah langsung ke samudera luas. Lautan yang identik dengan mitos kekuasaan Ratu Pantai Selatan.
"Selamat datang Nak Made dan kalian semua. Semoga Sang Dewa merahmatimu." Bapak Pendeta menemui tiga sahabat di sebuah pelataran, tempat yang biasa dipakai mementaskan tari kecak.
"Salam, Pak Pendeta. Kenalkan ini dua sahabat saya, Bon-Bon dan Helena. Mereka berdua baru pertama kali ke sini."
Pak Pendeta menyalami keduanya, "Salam. Senang mendapat kunjungan dari anak-anak muda seperti kalian. Tak banyak orang muda jaman ini yang tertarik pada adat dan budaya tradisional milik para leluhur. Mereka lebih mudah terpukau oleh magnet industri dan teknologi moderen. Mereka menyangka kebahagiaan itu melekat pada hal-hal bersifat materi dan lahiriah. Mereka keliru memaknai hakikat kebahagiaan."
"Terima kasih Pak Pendeta. Kami juga senang bertemu anda." Bon-Bon membalas sapaan berisi nasehat dari Pak Pendeta.
Bon-Bon merasakan getaran spiritual sangat tinggi dari Pak Pendeta. Tak banyak orang memiliki kharisma dan pancaran rohani sekuat ini. Tubuhnya seperti dilingkupi pendaran cahaya putih yang semakin mudah terlihat dalam gelap, seperti malam ini. Sinar purnama menerpa tubuh Pak Pendeta, membuat selubung cahaya berpendar semakin kuat. Rasa kagum menggema di lubuk hati Bon-Bon.
Mereka berbincang akrab penuh kehangatan, tentang rasa damai dan makna kebahagiaan. Tentang spiritualitas seseorang yang mampu mencapai tingkat tertinggi. Tentang kehidupan dunia yang hanya sementara. Bon-Bon memperoleh banyak perspektif baru dalam memandang kehidupan. Ternyata manusia memang ditugaskan memelihara alam, bukan malah mengeksploitasi dan merusaknya.
Malam semakin larut, Made mohon pamit pada Pak Pendeta. "Kami pamit dulu Pak Pendeta. Kali lain kami akan main ke sini lagi."
"Sebentar..! Kita berdoa bersama dulu, sesuai keyakinan masing-masing. Mari, nak..!" Pak pendeta mengajak ketiga sahabat menuju sebuah bangunan kecil tanpa sekat. Mereka duduk melingkar berhadap-hadapan. Angin dingin mulai menerpa, suasana terasa mistis.
"Kita berdoa untuk kedamaian di Bumi, untuk kesejahteraan manusia dan seluruh alam...." Pak Pendeta memimpin doa. Keempatnya larut dalam doa masing-masing.
Beberapa detik setelah memejamkan mata untuk berdoa, Bon-Bon mengalami hal aneh. Ia melihat sekilas kehadiran Sang Kakek di tengah-tengah mereka. Sang Kakek tersenyum sambil berdiri memegang tongkat, tak ada kotak kayu lagi. Namun beberapa saat kemudian ia menghilang, tepat sebelum Pak Pendeta menyelesaikan doanya. Bon-Bon bertanya-tanya, apakah Pak Pendeta memiliki ikatan spiritual dengan Sang Kakek?
"Terimakasih atas kunjungannya nak Made. Hati-hati di jalan, ya..! Semoga Dewa menjaga kalian." Pak Pendeta mengucapkan kalimat perpisahan.
"Sama-sama Pak Pendeta. Kami berangkat dulu. Salam..!" Made mewakili kedua sahabatnya berpamitan pada Pak Pendeta.
Mobil melaju perlahan ke arah Denpasar. Bon-Bon memandangi Purnama di langit malam. Semakin banyak misteri di pikirannya. Sementara Made menjalankan mobil dengan santai. Hatinya begitu damai malam ini. Helena hanya diam, melanjutkan senyum dalam lamunannya. Wajah Sang Kekasih bersinar cerah, begitu menawan, membuat jantung Made berdegup kencang.
No comments:
Post a Comment