TRANFORMASI MERAH PUTIH
BENDERA KEMERDEKAAN VS BENDERA PERSATUAN
Sebagai identitas nasional, sebuah bendera
memiliki arti sangat penting dalam hubungan bilateral maupun multilateral di
seluruh dunia. Selain itu, bendera juga merupakan gambaran sederhana karakter
serta prinsip/ideologi negara. Desain bendera seharusnya mampu mewakili
gambaran bawah sadar anak negeri, sehingga saat memandang bendera tersebut,
setiap warga memiliki keterikatan batin yang kuat pada tampilan serta
visualisasi bendera mereka.
Pada zaman perang kemerdekaan peranan sebuah
bendera mampu menjadi sumber semangat bagi para pejuang kemerdekaan. Naluri
perlawanan mereka bangkit seketika saat memandang Sang Saka Merah Putih
berkibar atau sekadar diikatkan ke kepala. Ikatan emosional sebuah bangsa
dengan bendera mereka sangatlah erat dan berakar.
Setiap bangsa memiliki cara dan proses berbeda
untuk menemukan serta menyepakati desain bendera yang akan mereka gunakan. NKRI
termasuk mudah dan singkat dalam hal ini. Merah Putih bersumber dari sejarah
masa lalu kerajaan Nusantara.
Bendera Merah Putih merupakan adaptasi bentuk
dari Panji Majapahit. Bentuk asli tidak sesimpel Bendera RI saat ini, melainkan
terdapat perulangan garis Merah dan Putih sehingga meyerupai strip pada bendera
Amerika Serikat ataupun Malaysia. Ada apa dibalik keputusan menyederhanakan
strip Merah-Putih menjadi sepasang Merah-Putih saja untuk menjadi Bendera
Perjuangan saat itu? Masih perlu kajian mendalam akan hal ini. Namun versi lain
meyebutkan bendera Majapahit memang hanya terdiri dari dua warna merah dan
putih tanpa perulangan.
Tapi sebagai gambaran, bahwa saat itu kita
sedang berjuang untuk satu hal penting, yakni merebut kemerdekaan. Pilihannya
hanya dua, “Merdeka atau Mati” !!! Kemerdekaan harus direbut meski darah dan
nyawa sebagai taruhan. Tampilan bendera yang simpel namun tegas tentu sangat
signifikan serta efektif untuk menjadi panji perjuangan merebut Kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan berhasil kita rebut, Sang
Saka Merah Putih tetap menjadi bendera kebanggaan seluruh negeri. Hingga pada
suatu saat sejarah mencatat tumbuhnya bibit-bibit perpecahan di beberapa titik
penjuru nusantara. Aceh dan Papua serta Timor-Timur menjadi momok persatuan.
Timor-Timur bahkan telah melepaskan diri dari NKRI. Di Aceh dan Papua, Merah
Putih sampai diidentikkan sebagai “bendera penjajah”. Mereka tak memiliki
keterikatan batin lagi dengannya. Masalah kebangsaan kini bukan saja bagaimana
merebut kemerdekaan, tapi lebih pada bagaimana mempertahankan persatuan sebagai
sebuah bangsa merdeka.
Bung Karno berujar, “Perjuanganku lebih mudah
karena hanya melawan penjajah. Perjuangan kalian akan lebih sulit karena akan
melawan bangsamu sendiri”.
Kini dapat kita cermati, bahwa saat perjuangan merebut kemerdekaan
kita hanya butuh panji Merah Putih yang simple, karena kita hanya fokus pada
dua pilihan, merdeka atau mati. Namun, saat tantangan mulai berganti, Merah
Putih sudah tak cukup lagi menjadi panji pemersatu. Ia terlalu simple untuk
keragaman Nusantara. Panji kebangsaan seharusnya mampu merangkum dan
mengakomodasi seluruh elemen kebangsaan agar setiap entitas di Bumi Nusantara
memiliki keterikatan batin pada panji kebangsaan itu. Mencari dan menemukan
kembali Panji Kebangsaan yang sesuai dengan tantangan zaman kini menjadi sebuah
keniscayaan. Kita berpacu dengan waktu sebelum bibit-bibit perpecahan itu kian
membesar dan berpotensi membuyarkan cita-cita para pendiri NKRI untuk
memakmurkan negeri ini.