Dalam dunia hewan, peristiwa bunuh-membunuh dan mangsa-memangsa adalah hal alami. Kematian seekor antilop berarti kehidupan bagi sekawanan singa. Mereka tak punya pilihan. Tak ada kecerdasan untuk mengolah makanan atau rasa empati kepada mangsanya.
Sedangkan manusia, hewan dengan derajat tertinggi di muka bumi, dianugerahi pikiran untuk mampu menghasilkan sendiri sumber-sumber kehidupannya, antara lain dengan cara bercocok tanam. Ia juga memiliki rasa untuk berempati pada makhluk lain. Manusia memiliki banyak cara untuk bertahan hidup tanpa harus membunuh. Walaupun hasrat manusia untuk berburu hewan nyatanya telah berlangsung lama.
Kodrat alam akan selalu bertuju dan mengarah pada keseimbangan. Keseimbangan ekosistem adalah hasil dari terjaganya siklus dalam rantai makanan pada sebuah wilayah geografis tertentu. Predator dan mangsanya sesungguhnya hanyalah bagian dari proses perpindahan, perubahan dan perputaran wujud energi. Energi dalam tumbuh mangsa akan berubah dan berpindah ke dalam tubuh predator dalam sebuah mekanisme biologis. Energi bertransformasi seperti halnya air menjadi es saat kedinginan atau menjadi uap bila kepanasan.
Jika pada hewan, membunuh adalah sebuah mekanisme pertahanan hidup yang disebut insting, mengapa membunuh sesama bisa dikategorikan sebagai tindakan sinting pada tingkatan manusia? Salah satu alasan adalah bahwa Sang Korban bukanlah mangsa yang berperan sangat menentukan bagi kehidupan kelompoknya. Persaingan hidup antar manusia bukanlah pada posisi predator dan mangsanya, melainkan posisi seekor singa pejantan dengan saingannya. Perselisihan akan segera berakhir setelah salah seekor singa mengakui keperkasaan Sang Pesaing. Sang Pecundang tetap memiliki hak hidup walaupun dengan status yang lebih rendah. Mungkin ia hanya akan kehilangan betina dan wilayah berburunya. Dengan sedikit kesabaran, Sang Pecundang kelak akan mampu membangun kembali kerajaannya sendiri.
Sebuah hal menarik adalah bahwa seganas-ganasnya hewan pemangsa, ia hanya akan memangsa sebatas kebutuhan dan kapasitas perutnya saja. Tak lebih tak kurang. Sedangkan manusia, ia memiliki tingkat keserakahan yang mencengangkan. Ia bisa memangsa jauh lebih banyak daripada kebutuhan hidupnya. Terkadang proses berburu jauh lebih penting daripada kebutuhan akan sumber makanan. Rasa puas terhadap sebuah proses penaklukan menjadi candu untuk terus mengulang dan mengulangnya lagi.
Membunuh adalah sebuah insting dalam dunia hewan, namun bisa dianggap sinting jika pelakunya adalah manusia. Terlebih lagi jika korbannya adalah juga manusia. Membunuh hanya dianggap terhormat jika ia dilakukan dalam sebuah mekanisme bertahan hidup. Perang adalah contoh mekanisme dimaksud. Dalam kondisi perang, membunuh dan dibunuh merupakan pilihan hidup. Namun, peperangan juga masih mengenal proses tawan-menawan atau pertukaran tawanan. Sehingga membunuh seharusnya hanya pantas menjadi alternatif terakhir dalam sebuah pengambilan keputusan.
No comments:
Post a Comment