Ketiganya beranjak pergi, namun pikiran Bon-Bon masih tertuju pada kalung misterius itu. Ia sangat ingin memilikinya. Saat tangan hendak meraih gagang pintu mobil, ia berbalik. Kembali menghampiri Sang Kakek.
"Kek, kalungnya boleh saya tawar lima ratus ribu, nggak?" Bon-Bon berusaha membujuk Sang Kakek, ia menaksir nilai kalung Helena. Made dan Helena mengamati dari dalam mobil.
"Nilai kalung kawanmu itu jauh lebih mahal!" Bon-Bon kecewa mendengar penolakan Sang Kakek.
"Ayolah, kek! Saya sangat menyukai kalung ini. Saya tak akan menawarnya lagi. Uang di dompet saya cuma segitu." Bon-Bon merajuk.
"Maaf, nak. Kalung ini nilainya tak sepadan. Kakek tak akan menjualnya."
Kaki Bon-Bon serasa terkunci. Antara ingin beranjak atau hendak bertahan di tempatnya. Made dan Helena saling tatap. Mereka berharap usaha Bon-Bon tak sia-sia meskipun raut kekecewaan terlihat jelas di wajah Bon-Bon.
Sang Kakek menatap remaja di depannya dalam-dalam, seperti hendak mencari tahu sesuatu.
"Maaf, nak. Kalung ini tak akan kakek jual." Sang Kakek kembali menegaskan pendiriannya.
Bon-Bon terlihat merapuh. Bahu tegapnya melunglai. Baru kali ini ia merasakan kekecewaan begitu besar. Sebagai anak tunggal, segala keinginan Bon-Bon akan selalu dikabulkan. Ia belum terlatih menghadapi penolakan dan rasa kecewa. Ingin rasanya memanggil Mamam saat ini juga.
Bon-Bon bergegas pergi. Langkahnya sangat berat, kepala tertunduk lesu. Kosong. Helena membuka pintu buat Bon-Bon. Saat ini posisi mobil telah di depan Sang Kakek. Kaca jendela diturunkan. Bon-Bon menatap Sang Kakek penuh harap. Mobil beranjak perlahan. Namun, tiba-tiba saja Made menginjak rem dalam-dalam. Mereka terkejut, Sang Kakek mengucapkan sesuatu.
"Nak...!!" Sang Kakek menghampiri Bon-Bon dari sisi jendela. "Kakek tetap tak akan menjualnya."
"Sialan..!!" Bon-Bon mengumpat dalam hati. Untuk apa juga kakek memanggil mereka jika tetap tak ingin melepas kalung itu? Bon-Bon kembali tertunduk, menyesali suasana tak menentu ini.
"Kakek akan memberinya buatmu..!!"
Bon-Bon masih tertunduk lesu, "Ya, sudahlah kek. Kami berangkat dulu..! .............., APAA..!!" Bon-Bon terbelalak, lalu menengadahkan wajahnya. Kalung itu berada tepat di depan mata Bon-Bon. Bergerak dan berayun kecil, menggelantung di tangan Sang Kakek. Perlahan raut mukanya berubah; sedih, bingung, diam, berharap, senang, gembira dan akhirnya berteriak histeris. Tapi tidak, ia takkan histeris. Ia sudah terlatih mengendalikan perasaan. Bon-Bon hanya menatap Sang Kakek penuh haru.
"Terima kasih, kek. Tapi, kalau boleh tahu, mengapa kakek memberikan kalung ini?" Bon-Bon masih tak percaya kenyataan di depan mata.
"Entahlah, nak. Kakek merasa pernah mengenalmu. Mungkin kita pernah bertemu di suatu tempat." Bon-Bon terkesima. "Ambillah kalung itu. Ia telah berjodoh denganmu."
Tak lama kemudian, ketiganya berpamitan. Mobil bergerak perlahan, semakin lama semakin cepat. Helena memperhatikan Sang Kakek dari spion mobil. Pada kedipan ketiga, Sang Kakek sudah tak di posisinya, menghilang begitu saja. Bon-Bon dan Made tak menyadari keanehan itu.
"Aneh, kakek tadi memberikan kalung ini begitu saja. Padahal saat Ai menawar lima ratus ribu ia tak mau melepasnya." Bon-Bon masih bertanya-tanya.
"Masa? Tadi Bon-Bon menawar lima ratus ribu dan tak dikasih?" Helena ikut merasa heran.
"Iya, betul. Tapi tiba-tiba saja kakek berubah pikiran." Seketika Bon-Bon merasa seperti melupakan sesuatu. "Aduh! Kita lupa menanyakan identitas kakek itu, dan untuk apa ia berada sendirian di tempat ini." Made dan Helena sepakat, mereka seharusnya mencari tahu identitas Sang Kakek.
No comments:
Post a Comment