Sudah menjadi resiko menjadi Nusa Antara, sebuah negeri yang terletak di persimpangan berbagai hal. Indonesia adalah tempat untuk menguji berbagai teori dan konsep sosial maupun politik. Indonesia tak akan pernah bisa cocok dengan sebuah konsep kaku dan textbook. Indonesia memiliki warna dan corak sosialnya sendiri.
Katanya kita menganut sistem Presidensil, namun prakteknya sering lebih mirip Parlementer. Katanya negara kita adalah Republik tanpa raja, tapi suasana Pilpres dan Pilkada seakan menjadi perebutan tahta kerajaan. Masihkah kita mampu membedakan definisi serta batas-batas kewenangan seorang Raja maupun Presiden?
Menjadi semakin rumit, sebab di Indonesia seorang Presiden adalah Kepala Pemerintahan yang juga sekaligus berkedudukan sebagai Kepala Negara. Ia adalah Raja sekaligus Perdana Menteri.
img. Mahkota Raja untuk Presiden? |
Raja adalah lembaga kepemimpinan tradisional yang telah lama ada. Presiden merupakan lembaga alternatif. Presiden, seperti halnya Perdana Menteri bersifat lebih adminstratif non genetis, sedangkan Raja berakar dari tradisi lisan non administratif namun berwatak genetis (bisa diwariskan). Ucapan Raja adalah Undang-undang, berbeda dengan Presiden yang justru terikat oleh hukum tertulis dalam bentuk Undang-undang.
NKRI sendiri pada hakikatnya adalah persekutuan Kerajaan dan Kesultanan dari berbagai wilayah di Nusantara. Peralihan bentuk pemerintahan dari Kerajaan menjadi Republik membawa konsekuensi serius. Eksistensi Raja dan Sultan tergerus dan bahkan hilang dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Generasi muda umumnya memahami bahwa Presiden adalah pengganti kedudukan Raja maupun Sultan di jaman moderen.
Itulah sebabnya bisa dipahami jika perlakuan masyarakat kepada Presiden dan jajaran pemimpin kenegaraan sangat mirip dengan sikap seorang hamba kepada Rajanya. Watak feodalisme membekas jauh ke alam bawah sadar sebagian besar warga. Tak banyak yang menyadari bahwa Presiden adalah seorang eksekutor sedangkan Raja merupakan sosok Inisiator.
Hubungan Presiden dan warganya bersifat legal administratif. Ini berbeda dengan hubungan seorang Raja dengan rakyat yang bersifat emosional religius. Raja dianggap sebagai wakil Tuhan di berbagai kebudayaan. Nah, kedua bentuk hubungan tadi nyatanya menyatu dalam sikap warga negara Indonesia kepada seorang Presiden.
Ketika interpretasi pejabat di daerah tentang lembaga Raja (adat) dan pejabat eksekutif mulai rancu dan menimbulkan konflik horizontal seperti terjadi di Kabupaten Gowa, Sulsel, ada baiknya tinjauan tentang bentuk negara memperoleh ruang kajian lebih luas lagi. Mungkin NKRI kelak bisa diartikan sebagai Negara Kerajaan Republik Indonesia.
Bingung?
Sama....
*****
No comments:
Post a Comment