Mengapa berke-Tuhanan lebih agung dan kemudian lebih dipilih daripada istilah beragama..? Sebuah kontradiksi tanpa akhir akan kita temui jika saja pemahaman kebangsaan kita masih terbatas pada sekat-sekat formal institusional belaka.
Keber-agama-an kita mudah terbelah oleh kebe-ragam-an suku-suku bangsa dan kepercayaan di bumi nusantara. Berke-Tuhanan adalah sebuah proses yang lebih menekankan kepada hubungan Tuhan dengan hambanya. Kedudukan Tuhan dalam agama apapun adalah lebih tinggi dan bersifat vertikal terhadap hambanya tanpa mengenal asal muasal dari suku mana dia berasal.
Kesadaran untuk meleburkan diri
membentuk sebuah bangsa memerlukan tingkatan pemahaman beragama yang
lebih tinggi dari para penganutnya. Sebab Tuhan dalam agama manapun tidak
menghendaki kerusakan dan pemusnahan satu golongan tertentu apalagi dengan
mengatasnamakan Tuhan itu sendiri. Manusia dengan latar belakang apa saja
tetaplah seorang hamba di hadapan Tuhan mereka masing-masing. Tuhan adalah
absolut dan tidak akan pernah terjadi perpecahan dalam diri-Nya sendiri.
Relasi Tuhan dan hambanya adalah bentuk hubungan vertikal terhadap unsur Sang Pencipta sehingga di titik manapun di permukaan bumi ini tidak akan pernah dan tak mungkin terjadi benturan dalam proses tersebut, sekalipun setiap debu dan tetesan embun melakukannya dalam waktu bersamaan. Dengan bentuk bumi yang bulat bahkan dalam beberapa kilometer saja kerapatan hubungan itu telah terlihat longgar. Pendekatan terhadap analogi ini bisa kita perhatikan pada duri seekor landak.
Sementara dalam hal keber-agama-an
kita, adalah sebuah mekanisme lain yang berbeda karena merupakan sesuatu yang
terbentuk oleh hubungan sosial dan budaya antar manusia dengan wataknya yang horisontal.
Mungkin inilah sebabnya pada awal konsepsi atau rumusan Pancasila Bung
Karno malah menempatkan sila Ketuhanan dalam urutan yang kelima. Sebab membahas
dasar negara adalah berbicara tentang hubungan horisontal antar manusia yang bersepakat
untuk mendiami suatu wilayah dalam batas teritorial tertentu dengan kesamaan
pandang bersama untuk menjalani proses kehidupan setiap warga negara tersebut.
Sedangkan ibadah dalam agama adalah sebuah proses internal bersifat
vertikal setiap individu dengan Tuhannya masing-masing.
Di sisi lain masalah agama diletakkan sebagai masalah individu dan internal seseorang yang harus dihargai dan dihormati setinggi-tingginya dengan kesadaran bahwa sebagai individu maupun kelompok, masyarakat dalam sebuah bangsa adalah hamba atau abdi dari Tuhannya masing-masing. Dalam hal penghormatan yang tinggi inilah akhirnya para penyusun naskah Pancasila selanjutnya menempatkan sila Ketuhanan menjadi prioritas utama dalam kehidupan berbangsa kita dan dirumuskan sebagai sila pertama dari lima sila yang ada.
Sepintas sila pertama Pancasila ini akan begitu mudah dilaksanakan dan
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa indonesia. Seharusnya dengan
kesadaran berbangsa dan tekad meleburkan diri ke dalam satu wadah kebangsaan
tadi seluruh umat beragama sudah bisa menjalin hubungan dengan Tuhannya
masing-masing dengan nyaman, tanpa
terusik ataupun mengusik ketenangan orang lain baik secara individu maupun
kelompok serta golongan tertentu. Tak seorangpun yang boleh atau berani
memonopoli kebenaran dalam segala bentuknya. Kebenaran adalah mutlak urusan Tuhan. Manusia hanya diperbolehkan
menakar kepatutan dan kelayakan suatu hal, itupun terbatas hanya dalam
interaksi horisontal sosial kemasyarakatan dalam sebuah bangsa.
Namun ternyata, mungkin karena usia yang relatif muda sebagai bangsa, justru perjalanan bangsa Indonesia masih terus berputar-putar dalam masalah ke-ragam-an keber-agama-an ini. Kesadaran kebangsaan kita ternyata masih begitu rendah untuk menempatkan urusan agama ini agar menjadi sebuah masalah yang seharusnya sudah tuntas. Masalah beragama belum dipandang sebagai hal berke-Tuhanan dengan sifatnya yang vertikal. Beragama justru dijadikan tameng dalam berpolitik dengan tujuan sempit jangka pendek dan tanpa visi kebangsaan sama sekali. Partai-partai dengan latar belakang agama berbeda malah saling menjatuhkan dalam memperebutkan kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat.
Dalam hal ini mereka tidak sadar bahwa pada saat sebuah kelompok keagamaan menyalahkan pihak lain, di saat bersamaan mereka telah memperlihatkan kekeliruan mereka sendiri. Dan ketika suatu golongan merasa diri paling benar, di waktu itu pula mereka dengan nyata-nyata telah menodai hakekat kebenaran yang ingin dibelanya.
//djasMerahputih
No comments:
Post a Comment