Blogger Tricks

Sunday, November 22, 2015

>>>HUKUM KEHILANGAN KONTEKS

     Saat sejarah belum tercatat dalam buku, manusia menerapkan hukum berdasarkan kesepakatan lisan para petinggi kerajaan dan pemuka adat. Hukum lisan (tidak tertulis) merupakan aturan adat yang murni bersumber dari nilai budaya dan norma susila masyarakat tradisional. Ucapan seorang raja adalah undang-undang. Merah ucap raja merah pula kata rakyat. Kekuatan lisan ada pada getaran energinya yang langsung menyasar ke hati audiens. Kharisma raja sebagai pengucap kata-kata akan menyertai setiap ucapan yang keluar dari mulutnya.
     Tak seperti hukum lisan, teks dalam undang-undang tak menyertakan getaran energi para pembuatnya saat berinteraksi dengan pembaca. Apalagi jika si pembaca tak kenal sama sekali dengan penyusun dan para pembuat teks undang-undang tersebut. Sebuah teks seringkali berdiri sendiri, ia tak serta merta mengikutsertakan situasi dan konteks saat narasi tersebut terbentuk. Teks berubah menjadi variabel dengan berbagai kemungkinan interpretasi dari orang-orang berbeda. Terlebih lagi, sebuah teks dapat bermakna ganda saat digunakan oleh komunitas dan bangsa berbeda. Kata "hijau" bisa berarti biru bagi orang Madura.

img.  Konteks menentukan persepsi
     Tradisi literasi sangat kuat mengakar pada sistem pendidikan moderen. Termasuk pula di dalamnya pendidikan hukum dan tata negara. KUHAP dan bentuk perundangan lainnya sudah pasti selalu tertuang dalam bentuk tulisan dan teks. Kumpulan teks membentuk sejumlah kalimat lalu menjadi paragraf, ayat, pasal kemudian menjadi bab hingga berlembar-lembar yang kemudian disatukan dalam bentuk sebuah buku/kitab. Buku tersebut selanjutnya didistribusikan kepada masyarakat umum dan para pelajar.
     Kitab hukum dan perundang-undangan menjadi pedoman bagi para praktisi dan birokrat. Dalam prakteknya ayat dan pasal dalam KUHAP tak selalu digunakan untuk menegakkan keadilan. Para petualang hukum memanfaatkan celah dan kelemahan tradisi literasi dengan mempermainkan makna atau membalikkan arti dari setiap pasal yang ada. Rakyat jelata yang buta hukum menjadi mangsa empuk para predator keadilan ini.
     Persamaan kedudukan dalam hukum hanya ada dalam buku. Prakteknya, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Hukum hanya berpihak pada uang dan kuasa. Hukum menjadi sarana untuk memonopoli keadilan. Hukum telah menganut faham industrialisasi, menganggap pasal-pasal sebagai sebuah produk komersil yang dapat diperjualbelikan. Hukum telah kehilangan konteks, dan yang tersisa hanyalah teks belaka.
     Melihat kenyataan ini, timbul pertanyaan, apakah kita perlu kembali ke bentuk hukum lisan? Mengembalikan hukum pada konteksnya dan bukan lagi hanya terpaku pada teks bisu dan multi tafsir itu?
     Sepertinya sih iya. Masalahnya adalah apakah masih ada figur "Raja" yang ucapannya begitu kharismatik dan berwibawa, yang kata-katanya sanggup menjelma menjadi undang-undang dan dipatuhi oleh segenap bangsa Indonesia? Mungkin kita harus tetap memelihara impian dan harapan bagi datangnya seorang Ratu Adil. Seseorang yang mampu mengembalikan hukum pada konteksnya. Sebab begitulah seharusnya hukum itu, ia tak boleh kehilangan konteks.

*****


No comments:

Post a Comment