Tindakan brutal tak saja bisa dilakukan dan menjadi monopoli para supporter bola. Ia dapat menjadi trend di berbagai kalangan. Mulai dari preman sejati, preman politik, pendukung kandidat bupati, walikota atau presiden, ilmuan, agamawan hingga preman insyaf. Meskipun kadar kebrutalan berbeda dan bertingkat-tingkat di setiap peristiwa, sebuah kebrutalan kecil tetap saja akan berarti sebuah tindakan brutal. Tidak proporsional dan cenderung over acting.
img. Konsekwensi Kebrutalan |
Dalam beberapa hal, biasanya menyangkut kepentingan kekuasaan dan bisnis, mudah terlihat atau sebut saja tercium (sebab kadang sulit dibuktikan) bentuk-bentuk kebrutalan ini. Memajang gambar "organ dalam" si sakit secara detail dan sangat vulgar pada kemasan rokok adalah contoh kecil kebrutalan dimaksud. Pesan bahwa merokok adalah sebuah kebiasaan buruk bukankah tak perlu disampaikan dengan cara brutal? Kebrutalan visual dalam kasus ini bukan saja tidak mendidik, tapi juga memberi contoh bahwa sebuah kebaikan sah-sah saja disampaikan (dipaksakan) dengan cara buruk. Apakah tak ada cara lain yang lebih "nyeni" dan elegan? Tentu saja banyak. Poin utamanya adalah, mengapa cara "brutal" ini justru menjadi pilihan? Pertanyaan ini secara tak langsung akan menggiring kita pada motifasi sebuah tindakan. Silakan dicermati sendiri.
Baru-baru ini sebuah ajakan untuk berdoa bersama 270 juta rakyat Indonesia "hanya" untuk menurunkan nilai tukar dollar terhadap rupiah juga menggelitik logika dan rasa. Klaim dan mengatasnamakan 270 juta rakyat Indonesia setuju dan berkepentingan dengan tujuan aksi tersebut adalah bentuk "kebrutalan" tersendiri. Lagi pula gaya bahasa hiperbolik tak selayaknya digunakan dalam konteks keagamaan. Terlepas dari tujuan awal aksi ini, banyak pertanyaan bermunculan dengan penggunaan matematika serampangan pada makna angka 270 juta. Apakah setiap jiwa, mulai dari orok hingga manula warga NKRI mengerti tentang nilai tukar? Apakah ajakan itu bersifat universal bagi para penganut agama berbeda di negeri ini? Apakah sebuah tindakan ritual memiliki alur logika yang sama dengan tindakan real? Bagaimana menjelaskan secara ilmiah hubungan antara sebab dan akibat yang berada pada dimensi dan juga bahkan alam berbeda? Silakan menambah sendiri pertanyaan dan kebingungan anda. Doa kepedulian yang bermaksud baik tak perlu dikemas lagi dengan jargon-jargon bombastis apalagi dengan cara mempermainkan logika.
Kebiasaan berpikir dan bertindak brutal bukan hal baru bagi negeri kita. Ia mengakar dalam pikiran bawah sadar manusia Indonesia, bagaikan anak tiri yang mengaku anak kandung. Sebut saja dua peristiwa penting infiltrasi dan penetrasi karakter brutal berskala bangsa, pernah terjadi dan menjadi penanda saat peralihan kekuasaan sedang berlangsung. Pengganyangan massa (yang dianggap) komunis 1965 dan etnik tertentu 1998.
Bersambung..
No comments:
Post a Comment