Paris dan Rini menikmati hidangan di alam terbuka. Langit senja begitu cerah, secerah perasaan kedua sahabat beda budaya ini. Mereka bersenda gurau sepuasnya. Setelah itu Paris dan Rini meneruskan perjalanan untuk kembali ke penginapan. Jarak dari penginapan cukup jauh, namun tak jua terasa oleh kedua gadis traveler. Mereka ngobrol berbagai hal menggunakan bahasa internasional, Bahasa Inggris. Terlalu banyak cerita yang ingin mereka bagi berdua.
Paris menceritakan awal ketertarikannya pada sosok Sukarno, presiden pertama Indonesia. Ia mendapat banyak kisah tentang Bung Karno dari kakeknya yang berasal dari Makassar. Bung Karnolah yang mengirim Sang Kakek bersekolah ke Eropa Timur. Hingga tiba suatu masa dimana gejolak politik di Indonesia memaksa Sang Kakek menetap di luar negeri tanpa status yang jelas. Beruntung seorang diplomat kenalannya memberikan perlindungan bagi Sang Kakek.
Sang Kakek berkata, "Hanya akan ada satu orang seperti Bung Karno dalam lima ratus tahun di negerinya. Seseorang yang berani menentang tekanan jaman. Seseorang yang diberkati kemampuan komunikasi massa begitu hebat. Seseorang dengan wawasan universal, menembus sekat-sekat suku, agama, negara maupun kawasan. Dan juga, seseorang dengan rasa kemanusiaan sangat tinggi." Paris terkesima mendengar cerita Sang Kakek. Cerita yang juga diungkapkan Paris pada Rini.
img. Pendamping Bung Karni |
Rini faham, Paris tertular perasaan kagum Sang Kakek. Rini sendiri tak terlalu mengagumi sosok Bung Karno. Sebagai gadis moderen yang lahir tiga generasi setelahnya Rini lebih mengenal Bung Karno sebagai pemimpin yang gila wanita. Ia bahkan hapal nama-nama sembilan istri Bung karno. Sebagai warga asli Jogja, Rini lebih kagum pada Sri Sultan. Meskipun ia belum bisa menjelaskan perbedaan sikapnya soal poligami. Sultan HB IX, seperti Bung Karno, juga memiliki lebih dari satu pendamping hidup. Bedanya, hal itu tak menghalangi Rini untuk tetap kagum pada beliau.
"Here, we are...!!" Mereka tiba di depan sebuah wisma kecil di pinggiran kota Ende. Paris menunjukkan letak kamar mereka.
*****>Dapat salam dari Cheryl, Bon..!!< Sebuah pesan WA terkirim. Mamam mencari-cari kalimat untuk menyapa anak tercinta. Hari masih pagi, dingin terasa menusuk tulang.
Sudah seminggu Bon-Bon berada di Bali, namun baru dua kali ia menghubungi Mamam. Itupun dengan waktu sangat singkat. Tak cukup bagi seorang ibu yang belum terbiasa berada jauh dari sang anak. Tak ada balasan, Mamam melanjutkan aktifitasnya di dapur. Kesunyian kembali membayangi hari-hari Mamam.
Di saat yang sama Bon-Bon baru saja selesai membersihkan diri. Tanda pesan masuk di gawai cerdas luput dari perhatiannya. Pikiran Bon-Bon masih tertuju pada mimpi misterius sebulan lalu. Seorang kakek tua membelai kepala Bon-Bon dan mengajaknya beranjak ke sebuah pura. Pura Uluwatu, tulisan itu begitu jelas, bahkan setelah Bon-Bon terbangun dari mimpinya. Siapakah gerangan sosok sang kakek? Pandangan Bon-Bon menerawang jauh menembus kaca jendela yang mengarah ke hamparan sawah berundak itu.
Bon-bon belum tergerak mengunjungi Pura Uluwatu dalam waktu dekat. Ia tertawan pesona keindahan alam dan tradisi Ubud. Pertanyaan-pertanyaan tentang daya tarik Ubud bagi dunia luar pun masih belum tuntas terjawab. Bon-Bon harus membaur dengannya, dengan Ubud dan segala misteri keindahannya.
No comments:
Post a Comment