KPK menjadi sandaran terakhir bagi rakyat Indonesia untuk melihat (sedikit saja) cahaya terang penegakan hukum di republik ini. Kekecewaan terhadap lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung membuat para tokoh reformasi nasional memutuskan untuk membentuk sebuah lembaga ad-hoc bernama KPK.
Seperti telah diduga sebelumnya, perlawanan para koruptor terlihat jelas dalam berbagai bentuk menyambut kelahiran KPK. Mulai dari intimidasi, kriminalisasi, tindakan hukum hingga upaya pelemahan dan amputasi kewenangan KPK lewat revisi Undang-undang KPK. Memang cukup dilematis bahwa pemberantasan korupsi hanya bisa dipercayakan kepada sebuah lembaga super body seperti KPK. Padahal, kita pun menyadari bahwa personil KPK bukanlah malaikat yang suci dan bersih dari niat subyektif.
Bencana paling berbahaya justru sangat berpotensi dilakukan oleh siapapun yang memiliki kekuasaan besar. Kenyataan menunjukkan bahwa kebijakan KPK tak luput dari interfensi politik dan kekuasaan. Momen Pilpres menjadi pertarungan paling sengit untuk menggiring KPK mengambil keputusan atau melakukan tindakan beraroma partisan. Prioritas penanganan kasus tertentu mau tak mau menimbulkan dugaan bahwa KPK melakukan tebang pilih dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi.
Pergantian pimpinan KPK menjadi momentum penting untuk kembali berharap pada lembaga ini. Pertanyaan sesungguhnya adalah, bukan hanya pada siapa orang-orang terpilih yang akan mengisi lima kursi pimpinan KPK periode berikut, melainkan seberapa besar kemauan, dukungan dan sikap anti korupsi rakyat Indonesia itu sendiri terpatri dalam jiwa segenap anak bangsa?
Bung Hatta telah mengingatkan kita agar tak terlalu mengandalkan sebuah gerakan perjuangan hanya kepada sesosok individu semata, yang timbul tenggelam bersama pemimpinnya. Sebuah perjuangan haruslah berwujud pergerakan seluruh rakyat Indonesia. Kriminalisasi para pemimpin KPK yang menimpa Antasari dan Abraham Samad sudah cukup untuk dijadikan sebagai pelajaran berharga. Terlepas dari bersalah atau tidaknya mereka berdua, ketika para pimpinan KPK menghadapi masalah hukum, di saat bersamaan proses eksekusi terhadap para pelaku korupsi ikut melempem. Preseden serupa bukan tak mungkin akan terus berulang di masa depan.
No comments:
Post a Comment